Oleh : Andi Sapri, S.IP, M.Hum
Sumber Tulisan Kendari Pos, edisi Minggu 16 November 2014
Perkawinan angka mata merupakan bentuk
perkawinan yang diadakan atas persetujuan kedua orang tua kedua belah pihak
antara pihak orang tua/keluarga perempuan dan laki-laki. Prosesi perkawinan angka mata bagi masyarakat muna merupakan rangkaian yang
memiliki satu kesatuan utuh yang diwujudkan dalam tahapan proses
pelaksanaannya. Seluruh tatanan adat dalam sistem perkawinan muna penuh dengan
makna-makna simbolik dan menggambarkan masyarakat muna memiliki tatanan budaya
tinggi.
Hal ini sesuai dengan pandangan Geertz dalam
Sobur (2004 : 178) bahwa titik sentral rumusan kebudayaan terletak pada simbol,
bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Simbol terbentuk melalui
dinamisasi interaksi sosial yang diwariskan secara historis, bermuatan
nilai-nilai dan simbol acuan wawasan pemberi petunjuk bagi warga budaya
tertentu dalam menjalani hidup, sekaligus media pesan berkominikasi.
Pandangan Geertz tersebut cukup relevan
dengan realitas kebudayaan masyarakat muna, khususnya pada tatanan kebudayaan
dalam prosesi perkawinan angka mata.
Prosesi perkawinan angka mata merupakan
rumusan kebudayaan yang telah disepakati bersama oleh para pemangku adat dan
sudah merupakan realitas sosial yang dianut oleh masyarakata muna pada umumnya
dalam proses perkawinan. Pada pelaksanaan perkawinan adat angka mata pada masyarakat muna terdapat simbol-simbol yang memiliki
makna. Makna simbolik tersebut adalah :
1.
Dekamata
Dekamata dalam istilah bahsa
muna adalah ingin mencari tau tentang keberadaan seorang perempuan yang bakal
akan dijadikan calon pasangan hidup bagi seorang laki-laki lajang. Dekamata menyimbolkan tahapan
mempelajari perangai seorang gadis yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap
seorang gadis sebagai calon istri. Dekamata
dalam arti sesungguhnya adalah melihat sesuatu yang tampak.
Konsepsi dasar pertimbangan kegiatan dekamata merupakan prosesi awal sebelum
menjatuhkan pilihan pada seseorang untuk pasangan hidup. Oleh karena itu,
menurut tradisi masyarakat muna sangat berhati-hati dalam menentukan pasangan
suami atau istri. Hal ini tersimpul dalam suatu ungkapan dalam bahasa muna “fotindae matamu, fotindae pongkemu, fotoroe
totono lalomu”. Artinya jika kita ingin menentukan pilihan untuk pasangan
suami atau istri, maka kita harus mengamati dan mencermatinya secara jeli
jangan sampai terjadi kekeliruan yang akan menyebabkan penyesalan dikemudian
hari.
2.
Dempali-mpali
Dempali-mpali berarti jalan-jalan
kerumah sang gadis itu dan sekaligus agar keluarga laki-laki ditunggu pada hari
tertentu, karena mereka akan datang ditempat itu. Untuk menentukan hari
kedatangan pihak laki-laki kerumah pihak perempuan tidak boleh berjanji tiga
hari atau tujuh hari, karena waktu tersebut berkaitan dengan acara kedukaan
yang mana masyarakat muna melaksanakan acara kedukaan pada tiga hari (oetolu) dan tujuh hari (oefitu). Hal ini dimaksudkan agar acara yang
bahagia dihindarkan dari kedukaan.
3.
Defenagho tungguno karete
Defenagho tungguno karete adalah tahap
memastikan apakah sang gadis belum ada calon suaminya dan sekaligus jika belum
ada calon suaminya, keluarga pihak laki-laki menyatakan keinginannya untuk
direstui sebagai calon suami, baik oleh anak perempuan calon pengantin maupun
dari pihak keluarga perempuan. Dalam defenagho
tungguno karete, pihak laki-laki mengutarakan maksudnya dengan
mengkiaskannya dengan bunga dihalaman.
Bunga dianggap sebagai
simbol keindahan yang setiap orang memandangnya akan merasa tertarik untuk
memilikinya, namun untuk memilki harus atas ijin pemilikinya yang telah
memelihara bunga tersebut. Pengkiasan ini dilakukan untuk menghormati orang tua
perempuan dalam mengungkapkan maksud pelamaran. Dari komunikasi yang dilakukan
ini terdapat makna estetis, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat muna
menjunjung tinggi nilai estetis, tertarik pada hal-hal yang menyenangkan,
menggembirakan yang diwujudkan dalam sikap, perilaku dan tutur kata.
4.
Kafeena
Kafeena (pertanyaan) dalam hukum adat, berarti
pertanyaan yang ditujukan pada pihak perempuan atau khabentano pongke (pelubang telinga) yaitu uang menghargai telinga
sang putri yang menerima pertanyaan yang diajukan oleh delegasi pihak
laki-laki. Kafeena tidak dilaksanakan
secara lisan malainkan berupa uang tunai yang banyaknya menurut kesepakatan
kedua belah pihak yang berpedoman kepada keentuan adat setempat, bersama satu
cincin emas serta pemberian barang lain yang menjadi kebutuhan wanita seperti
pakaian, alat-alat kosmetik dan alat-alat dapur yang disebut puro-puro (pakaian mempelai perempuan).
Puro-puro
yaitu
pakaian dari ujung kaki sampai kepala yang terdiri atas cincin, cermin, pisau,
selendang, sejadah, sarung, baju, sendal dan seluruh pakaian dalam wanita.
Tetapi kalau tidak memilki kemampuan, maka cukup diwakilkan pada tiga jenis
benda saja yaitu cermin, pisau dan sisir. Simbolik dari ketiga benda tersebut
adalah; 1) cermin sebagai simbol
ketulusan, 2) pisau sebagai simbol keseriusan, 3) sisir sebagai simbol
keikhlasan dari laki-laki/perjaka terhadap perempuan dan seluruh keluarga.
Isyarat untuk mengetahui diterima atau
tidaknya suatu lamaran dapat dilihat dari isyarat kabintingia, bila kabintingia
dikembalikan dalam posisi terbuka diatas maka menyimbolkan diterimanya kafeena tadi dan jika terjadi sebaliknya
(terlungkup) menyimbolkan penolakan.
Pemaknaan kabintingia mulai dari bentuk, proses dan perlakuan masing-masing
mengandung nilai filosofi, yakni 1) kabintingia
sebagai simbol harapan kedepan terhadap keluarga yang akan terbentuk dapat
menjaga kerahasiaan rumah tangga yang hanya boleh diketahui oleh suami istri,
dapat juga terekspos pada tingkat jajaran keluarga apabila suami istri tidak
dapat memecahkan sendiri, 2) makana tertutup adalah untuk mentupi segala
kekurangan yang dimiliki oleh pihak laki-laki misalnya materi. Oleh karena itu,
dulu pantang untuk membuka kabintingia ditengah delegasi kedua belah pihak
tetapi mereka cukup mengetahui sebatas sesuai dengan ketentuan adat.
5.
Kataburi
Kataburi dalam hukum adat perkawinan adalah suatu
pertanyaan yang ditujukan kepada orang tua pihak perempuan yang dipinang dengan
maksud untuk meminta persetujuan atas diterimanya kafeena oleh anak gadisnya yang dipinang. Pihak laki-laki yang
telah serius membuktikan keraguan dengan membawah tanda sara dalam bentuk uang. Uang diberikan kepada ayah perempuan.
6.
Paniwi
Pelaksaanaan paniwi dapat melalui dua jalan sifat pengadaanya, yaitu berupa
barang atau hasil bumi yang dapat pula dibayar dengan uang yang diserahkan kepada
pihak perempuan. Urutan dalam memikul paniwi
adalah buah pinang berjalan lebih awal dari pikulan lainnya dan terakhir
adalah tebu.
Hal tersebut menurut para orang tua
mengandung makna filosofi bahwa pinang memiliki kelebihan didalam hidupnya, batangnya
yang lurus walaupun hidup ditengah-tengah pohon yang lain, sehingga dari makna
filosofi itu diharapkan agar kedua calon mempelai akan memiliki kejujuran dalam
menempuh hidup bermasyarakat.
Selain itu, pinang memiliki rasa yang
pekat-pekat yang mengandung makna bahwa membangun rumah tangga harus siap
bersusah-susah dahulu. Kemudian terakhir adalah tebu sebagai doa yang pada
akhirnya akan menjadi keluarga yang manis yang dapat dibanggakan bagi keluarga
dan keterunannya.
7.
Adhati balano/Sara-sara
Adhati
balano atau biasa disebut kaowano bhea artinya penganugerahan mahar yang dalam bahasa muna
disebut sara-sara yang berarti syarat
pokok untuk syahnya pelaksanaan pernikahan bagi kedua mempelai menurut syariat
agama islam. Oleh karena itu, sara-sara
biasa disebut adhati balano. Besarnya
ketetapan adat adhati balano sesuai
dengan kedudukan dalam lapisan sosial pada masyarakat muna.
Simbol mas kawin pada masyarakat muna dalam
perkawinan memakai istilah kaowano bhea. Kaowano bhea merupakan
suatu simbol yang diambil dari sejenis tanaman pinang. Penetapan adat mas kawin
pada masyarakat muna untuk setiap golongan adalah sebagai berikut :
1.
Golongan
kaomu dengan mas kawin 20 bhoka (raafulu bhoka) menyimbolkan jabatan Kino (Kepala kampung) dari empat ghoera (wilayah) yang masing-masing wilayah ada lima Kino yang dijabat oleh golongan kaomu.
2.
Golongan
walaka dengan mas kawin 10 bhoka 10 suku (ompulu bhoka ompulu suku), menyimbolkan 10 jabatan yang dijabat
oleh golongan walaka. Jabatan
tersebut adalah : a) dua orang hatibi
(habib), yakni hatibino Tongkuno dan
Lawa, b) empat orang modhi kamokula,
yakni modhi kamokulano Tongkuno,
Lawa, Kabawo dan Katobu, c) empat modhi
anahi, yakni modhi anahi
Tongkuno, Lawa, Kabawo dan Katobu.
3.
Golongan
anangkolaki dengan mas kawin 7 bhoka 2 suku (tolu bhoka rasukuhano), menyimbolkan tujuh dari jumlah bersaudara
dari keturunan Sugi Manuru dengan istri selir bernama Wa Sarone, yaitu La Pana
sebagai Kino Laghontoghe, La
Kulipopota sebagai Kino Lakudo, La
Tenderidatu sebagai Kino
Bhombonowulu, La Kudo sebagai Kino
Laiba, La Kakolo sebagai Kino Lohia
dan Wa Sidakari sebagai Kino Kasaka.
4.
Golongan
maradika dengan mas kawin 3 bhoka 2 suku (tolu bhoka rasukuhano)
merupakan simbol dari tiga jabatan yang dijabat golongan maradika yaitu Bhontono Kampo,
Kamokulano Liwu dan Parabhela serta dua jabatan Kapitalao yaitu Kapitalao Kansoopa (Panglima perang wilayah timur) dan Kapitalao Matagholeo (Panglima perang wilayah barat).
8.
Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha
Biasanya Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha
diserahkan secara bersamaan setelah adhati bhalano diterima. Penyerahan ini
dilakukan sekaligus karena masing-masing merupakan bentuk penghargaan terhadap
jasa yang dilakukan kepada kedua mempelai, baik mempelai laki-laki maupun
mempelai perempuan.
Lolino ghawi (pengganti pengakuan) adalah berupa uang
yang ditujukan sebagai simbol pengganti jerih payah ibu selama memelihara
anaknya dari kecil hingga dewasa dan sekarang sudah akan berpisah. Kaokanuha (mengenakan pakaian) adalah
uang yang diberikan untuk membayar jasa orang yang mengenakan pakaian pengantin
dan orang yang memberikan nasehat kepada calon mempelai perempuan.
Kafoatoha (pengantar) adalah uang yang diberikan
kepada simbol pembayaran orang-orang yang telah mengantar. Setelah penyerahan
ini, maka ketiga jenis adat tersebut akan diserahkan kepada yang berhak
menerimanya, yaitu ibu mempelai perempuan (lalino
ghawi), penghias pengantin dan pengantar.
9.
Penyerahan adat Matano Kenta
Para leluhur menyebutkan uang penghormatan
bagi bagi para delegasi dengan istilah matano
kenta (mata ikan), hal ini disimbolkan karena ikan memiliki kelebihan yakni
ikan tidak pernah tidur, tidak penah berkedip selalu terbuka matanya sampai
kapanpun selagi masih berwujud.
Matano
kenta
sebagai salah satu istilah dalam adat perkawinan masyarakat muna dengan
mengadopsi makna kehidupan ikan yang tidak pernah terkontaminasi dengan asinnya
air laut. Dari filosofi tersebut menyimbolkan bahwa kedua mempelai diharapkan
mampu menyesuaikan diri dan tidak terkontaminasi dengan kondisi dan dinamika
kehidupan masyarakat yang tidak menguntungkan dalam menjalani kehidupan rumah
tangga.
10. Katangka
Dalam bahasa muna akad nikah disebut katangka, karena perkawinan merupakan kekuatan
hukum suatu hubungan suami istri dalam membentuk keluarga baru. Dengan
selesainya akad nikah, maka pembentukan keluarga baru antara seorang laki-laki
dan perempuan telah resmi dan sah sebagai suami istri secara hukum. Katangka menyimbolkan kekuatan atau
kokohnya hubungan suami istri untuk selama-lamanya. Dalam katangka ini sarat dengan nilai religius, karena sebelum dilakukan
ijab qabul kepada mempelai terlebih dahulu membacakan ayat-ayat suci Al’quran.
11. Kafelesau
Pihak keluarga mempelai perempuan dua atau
tiga orang yang dipercaya untuk mengantar kedua mempelai kerumah keluarga
mempelai laki-laki, kemudian mereka berangkat bersama-sama dengan keluarga
mempelai perempuan. Proses ini merupakan simbol pengalihan tanggung jawab dari
pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki atas hak dan tanggung
jawabnya kepada anak gadis mereka.
12. Kafewanui
Kafewanui merupakan pencucian
kedua kaki mempelai perempuan diatas piring putih, hal ini dilakukan sebagai
simbol penghormatan keluarga laki-laki kepada mempelai perempuan bahwa mereka
menerima mempelai perempuan dengan hati yang bersih dan tulus.
13. Kasukogho
Selasai cuci kaki, mempelai perempuan
diantar kekamar khusus untuk menerima pemberian dari keluarga mempelai
laki-laki. Biasanya diberikan pakaian adat atau sarung muna yang langsung
dikenakan kepada pengantin perempuan, sehingga pada saat kembali sudah mengganti
pakaian. Kasukogho (pengenaan)
pakaian adat atau sarung muna ini menyimbolkan penerimaan resmi atas hak dan
tanggung jawab sang gadis dari keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki.
14. Kafosulino katulu
Kafosulino katulu berarti kembali menapaki jejak semula, yang
dimaksudkan disini adalah pengantin baru ditemani oleh pelaku adat dari pihak
perempuan yang mengantar dan pihak laki-laki yang menerima kembali lagi, untuk
bersama-sama kerumah mempelai perempuan mengikuti jejak yang sudah dilewati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar