Total Tayangan Halaman

Senin, 01 Desember 2014

Makna Simbolik Pada Tata Cara Perkawinan Angka Mata Masyarakat Muna


Oleh : Andi Sapri, S.IP, M.Hum
Sumber Tulisan Kendari Pos, edisi Minggu 16 November 2014

Perkawinan angka mata  merupakan bentuk perkawinan yang diadakan atas persetujuan kedua orang tua kedua belah pihak antara pihak orang tua/keluarga perempuan dan laki-laki. Prosesi perkawinan angka mata  bagi masyarakat muna merupakan rangkaian yang memiliki satu kesatuan utuh yang diwujudkan dalam tahapan proses pelaksanaannya. Seluruh tatanan adat dalam sistem perkawinan muna penuh dengan makna-makna simbolik dan menggambarkan masyarakat muna memiliki tatanan budaya tinggi.
Hal ini sesuai dengan pandangan Geertz dalam Sobur (2004 : 178) bahwa titik sentral rumusan kebudayaan terletak pada simbol, bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial yang diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai dan simbol acuan wawasan pemberi petunjuk bagi warga budaya tertentu dalam menjalani hidup, sekaligus media pesan berkominikasi.
Pandangan Geertz tersebut cukup relevan dengan realitas kebudayaan masyarakat muna, khususnya pada tatanan kebudayaan dalam prosesi perkawinan angka mata. Prosesi perkawinan angka mata merupakan rumusan kebudayaan yang telah disepakati bersama oleh para pemangku adat dan sudah merupakan realitas sosial yang dianut oleh masyarakata muna pada umumnya dalam proses perkawinan. Pada pelaksanaan perkawinan adat angka mata pada masyarakat muna terdapat simbol-simbol yang memiliki makna. Makna simbolik tersebut adalah :

1.        Dekamata

Dekamata dalam istilah bahsa muna adalah ingin mencari tau tentang keberadaan seorang perempuan yang bakal akan dijadikan calon pasangan hidup bagi seorang laki-laki lajang. Dekamata menyimbolkan tahapan mempelajari perangai seorang gadis yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap seorang gadis sebagai calon istri. Dekamata dalam arti sesungguhnya adalah melihat sesuatu yang tampak.
Konsepsi dasar pertimbangan kegiatan dekamata merupakan prosesi awal sebelum menjatuhkan pilihan pada seseorang untuk pasangan hidup. Oleh karena itu, menurut tradisi masyarakat muna sangat berhati-hati dalam menentukan pasangan suami atau istri. Hal ini tersimpul dalam suatu ungkapan dalam bahasa muna “fotindae matamu, fotindae pongkemu, fotoroe totono lalomu”. Artinya jika kita ingin menentukan pilihan untuk pasangan suami atau istri, maka kita harus mengamati dan mencermatinya secara jeli jangan sampai terjadi kekeliruan yang akan menyebabkan penyesalan dikemudian hari. 

2.        Dempali-mpali

Dempali-mpali berarti jalan-jalan kerumah sang gadis itu dan sekaligus agar keluarga laki-laki ditunggu pada hari tertentu, karena mereka akan datang ditempat itu. Untuk menentukan hari kedatangan pihak laki-laki kerumah pihak perempuan tidak boleh berjanji tiga hari atau tujuh hari, karena waktu tersebut berkaitan dengan acara kedukaan yang mana masyarakat muna melaksanakan acara kedukaan pada tiga hari (oetolu) dan tujuh hari (oefitu). Hal ini dimaksudkan agar acara yang bahagia dihindarkan dari kedukaan.

3.        Defenagho tungguno karete

Defenagho tungguno karete adalah tahap memastikan apakah sang gadis belum ada calon suaminya dan sekaligus jika belum ada calon suaminya, keluarga pihak laki-laki menyatakan keinginannya untuk direstui sebagai calon suami, baik oleh anak perempuan calon pengantin maupun dari pihak keluarga perempuan. Dalam defenagho tungguno karete, pihak laki-laki mengutarakan maksudnya dengan mengkiaskannya dengan bunga dihalaman.
Bunga dianggap sebagai simbol keindahan yang setiap orang memandangnya akan merasa tertarik untuk memilikinya, namun untuk memilki harus atas ijin pemilikinya yang telah memelihara bunga tersebut. Pengkiasan ini dilakukan untuk menghormati orang tua perempuan dalam mengungkapkan maksud pelamaran. Dari komunikasi yang dilakukan ini terdapat makna estetis, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat muna menjunjung tinggi nilai estetis, tertarik pada hal-hal yang menyenangkan, menggembirakan yang diwujudkan dalam sikap, perilaku dan tutur kata.  

4.        Kafeena

Kafeena (pertanyaan) dalam hukum adat, berarti pertanyaan yang ditujukan pada pihak perempuan atau khabentano pongke (pelubang telinga) yaitu uang menghargai telinga sang putri yang menerima pertanyaan yang diajukan oleh delegasi pihak laki-laki. Kafeena tidak dilaksanakan secara lisan malainkan berupa uang tunai yang banyaknya menurut kesepakatan kedua belah pihak yang berpedoman kepada keentuan adat setempat, bersama satu cincin emas serta pemberian barang lain yang menjadi kebutuhan wanita seperti pakaian, alat-alat kosmetik dan alat-alat dapur yang disebut puro-puro (pakaian mempelai perempuan).
Puro-puro yaitu pakaian dari ujung kaki sampai kepala yang terdiri atas cincin, cermin, pisau, selendang, sejadah, sarung, baju, sendal dan seluruh pakaian dalam wanita. Tetapi kalau tidak memilki kemampuan, maka cukup diwakilkan pada tiga jenis benda saja yaitu cermin, pisau dan sisir. Simbolik dari ketiga benda tersebut adalah;    1) cermin sebagai simbol ketulusan, 2) pisau sebagai simbol keseriusan, 3) sisir sebagai simbol keikhlasan dari laki-laki/perjaka terhadap perempuan dan seluruh keluarga.
Isyarat untuk mengetahui diterima atau tidaknya suatu lamaran dapat dilihat dari isyarat kabintingia, bila kabintingia dikembalikan dalam posisi terbuka diatas maka menyimbolkan diterimanya kafeena tadi dan jika terjadi sebaliknya (terlungkup) menyimbolkan penolakan.
Pemaknaan kabintingia mulai dari bentuk, proses dan perlakuan masing-masing mengandung nilai filosofi, yakni 1) kabintingia sebagai simbol harapan kedepan terhadap keluarga yang akan terbentuk dapat menjaga kerahasiaan rumah tangga yang hanya boleh diketahui oleh suami istri, dapat juga terekspos pada tingkat jajaran keluarga apabila suami istri tidak dapat memecahkan sendiri, 2) makana tertutup adalah untuk mentupi segala kekurangan yang dimiliki oleh pihak laki-laki misalnya materi. Oleh karena itu, dulu pantang untuk membuka kabintingia ditengah delegasi kedua belah pihak tetapi mereka cukup mengetahui sebatas sesuai dengan ketentuan adat. 

5.        Kataburi

Kataburi dalam hukum adat perkawinan adalah suatu pertanyaan yang ditujukan kepada orang tua pihak perempuan yang dipinang dengan maksud untuk meminta persetujuan atas diterimanya kafeena oleh anak gadisnya yang dipinang. Pihak laki-laki yang telah serius membuktikan keraguan dengan membawah tanda sara dalam bentuk uang. Uang diberikan kepada ayah perempuan.
6.        Paniwi

Pelaksaanaan paniwi dapat melalui dua jalan sifat pengadaanya, yaitu berupa barang atau hasil bumi yang dapat pula dibayar dengan uang yang diserahkan kepada pihak perempuan. Urutan dalam memikul paniwi adalah buah pinang berjalan lebih awal dari pikulan lainnya dan terakhir adalah tebu.
Hal tersebut menurut para orang tua mengandung makna filosofi bahwa pinang memiliki kelebihan didalam hidupnya, batangnya yang lurus walaupun hidup ditengah-tengah pohon yang lain, sehingga dari makna filosofi itu diharapkan agar kedua calon mempelai akan memiliki kejujuran dalam menempuh hidup bermasyarakat.
Selain itu, pinang memiliki rasa yang pekat-pekat yang mengandung makna bahwa membangun rumah tangga harus siap bersusah-susah dahulu. Kemudian terakhir adalah tebu sebagai doa yang pada akhirnya akan menjadi keluarga yang manis yang dapat dibanggakan bagi keluarga dan keterunannya.

7.        Adhati balano/Sara-sara

Adhati balano atau biasa disebut kaowano bhea artinya penganugerahan mahar yang dalam bahasa muna disebut sara-sara yang berarti syarat pokok untuk syahnya pelaksanaan pernikahan bagi kedua mempelai menurut syariat agama islam. Oleh karena itu, sara-sara biasa disebut adhati balano. Besarnya ketetapan adat adhati balano sesuai dengan kedudukan dalam lapisan sosial pada masyarakat muna.
Simbol mas kawin pada masyarakat muna dalam perkawinan memakai  istilah kaowano bhea. Kaowano bhea merupakan suatu simbol yang diambil dari sejenis tanaman pinang. Penetapan adat mas kawin pada masyarakat muna untuk setiap golongan adalah sebagai berikut :

1.     Golongan kaomu dengan mas kawin 20 bhoka (raafulu bhoka) menyimbolkan jabatan Kino (Kepala kampung) dari empat ghoera (wilayah) yang masing-masing wilayah ada lima Kino yang dijabat oleh golongan kaomu.
2.     Golongan walaka dengan mas kawin 10 bhoka 10 suku (ompulu bhoka ompulu suku), menyimbolkan 10 jabatan yang dijabat oleh golongan walaka. Jabatan tersebut adalah : a) dua orang hatibi (habib), yakni hatibino Tongkuno dan Lawa, b) empat orang modhi kamokula, yakni modhi kamokulano Tongkuno, Lawa, Kabawo dan Katobu, c) empat modhi anahi, yakni modhi anahi Tongkuno, Lawa, Kabawo dan Katobu.
3.     Golongan anangkolaki dengan mas kawin 7 bhoka 2 suku (tolu bhoka rasukuhano), menyimbolkan tujuh dari jumlah bersaudara dari keturunan Sugi Manuru dengan istri selir bernama Wa Sarone, yaitu La Pana sebagai Kino Laghontoghe, La Kulipopota sebagai Kino Lakudo, La Tenderidatu sebagai Kino Bhombonowulu, La Kudo sebagai Kino Laiba, La Kakolo sebagai Kino Lohia dan Wa Sidakari sebagai Kino Kasaka.
4.     Golongan maradika dengan mas kawin 3 bhoka 2 suku (tolu bhoka rasukuhano) merupakan simbol dari tiga jabatan yang dijabat golongan maradika yaitu Bhontono Kampo, Kamokulano Liwu dan Parabhela serta dua jabatan Kapitalao yaitu Kapitalao Kansoopa (Panglima perang wilayah timur) dan Kapitalao Matagholeo (Panglima perang wilayah barat).

8.        Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha

Biasanya Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha diserahkan secara bersamaan setelah adhati bhalano diterima. Penyerahan ini dilakukan sekaligus karena masing-masing merupakan bentuk penghargaan terhadap jasa yang dilakukan kepada kedua mempelai, baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan.
Lolino ghawi (pengganti pengakuan) adalah berupa uang yang ditujukan sebagai simbol pengganti jerih payah ibu selama memelihara anaknya dari kecil hingga dewasa dan sekarang sudah akan berpisah. Kaokanuha (mengenakan pakaian) adalah uang yang diberikan untuk membayar jasa orang yang mengenakan pakaian pengantin dan orang yang memberikan nasehat kepada calon mempelai perempuan.
Kafoatoha (pengantar) adalah uang yang diberikan kepada simbol pembayaran orang-orang yang telah mengantar. Setelah penyerahan ini, maka ketiga jenis adat tersebut akan diserahkan kepada yang berhak menerimanya, yaitu ibu mempelai perempuan (lalino ghawi), penghias pengantin dan pengantar.

9.        Penyerahan adat Matano Kenta

Para leluhur menyebutkan uang penghormatan bagi bagi para delegasi dengan istilah matano kenta (mata ikan), hal ini disimbolkan karena ikan memiliki kelebihan yakni ikan tidak pernah tidur, tidak penah berkedip selalu terbuka matanya sampai kapanpun selagi masih berwujud.
Matano kenta sebagai salah satu istilah dalam adat perkawinan masyarakat muna dengan mengadopsi makna kehidupan ikan yang tidak pernah terkontaminasi dengan asinnya air laut. Dari filosofi tersebut menyimbolkan bahwa kedua mempelai diharapkan mampu menyesuaikan diri dan tidak terkontaminasi dengan kondisi dan dinamika kehidupan masyarakat yang tidak menguntungkan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

10.     Katangka

Dalam bahasa muna akad nikah disebut katangka, karena perkawinan merupakan kekuatan hukum suatu hubungan suami istri dalam membentuk keluarga baru. Dengan selesainya akad nikah, maka pembentukan keluarga baru antara seorang laki-laki dan perempuan telah resmi dan sah sebagai suami istri secara hukum. Katangka menyimbolkan kekuatan atau kokohnya hubungan suami istri untuk selama-lamanya. Dalam katangka ini sarat dengan nilai religius, karena sebelum dilakukan ijab qabul kepada mempelai terlebih dahulu membacakan ayat-ayat suci Al’quran.

11.     Kafelesau

Pihak keluarga mempelai perempuan dua atau tiga orang yang dipercaya untuk mengantar kedua mempelai kerumah keluarga mempelai laki-laki, kemudian mereka berangkat bersama-sama dengan keluarga mempelai perempuan. Proses ini merupakan simbol pengalihan tanggung jawab dari pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki atas hak dan tanggung jawabnya kepada anak gadis mereka.

12.     Kafewanui

Kafewanui merupakan pencucian kedua kaki mempelai perempuan diatas piring putih, hal ini dilakukan sebagai simbol penghormatan keluarga laki-laki kepada mempelai perempuan bahwa mereka menerima mempelai perempuan dengan hati yang bersih dan tulus.

13.     Kasukogho

Selasai cuci kaki, mempelai perempuan diantar kekamar khusus untuk menerima pemberian dari keluarga mempelai laki-laki. Biasanya diberikan pakaian adat atau sarung muna yang langsung dikenakan kepada pengantin perempuan, sehingga pada saat kembali sudah mengganti pakaian. Kasukogho (pengenaan) pakaian adat atau sarung muna ini menyimbolkan penerimaan resmi atas hak dan tanggung jawab sang gadis dari keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki.

14.     Kafosulino katulu   


Kafosulino katulu berarti kembali menapaki jejak semula, yang dimaksudkan disini adalah pengantin baru ditemani oleh pelaku adat dari pihak perempuan yang mengantar dan pihak laki-laki yang menerima kembali lagi, untuk bersama-sama kerumah mempelai perempuan mengikuti jejak yang sudah dilewati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar